Sabtu, 14 Januari 2012

THYPOID



A.    PENGERTIAN
Demam tifoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh salmonella typhi.
Patogenesis
Salmonella typhi merupakan basil gram (-) dan bergerak dengan rambut getar. Transmisi salmonella typhi ke dalam tubuh manusia dapat melalui hal-hal berikut:
1.      Transmisi oral, melalui makanan yang terkontaminasi kuman salmonella typhi.
2.      Transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis yang mempunyai salmonella typhi langsung bersentuhan dengan makanan yang dimakan.
3.      Transmisi kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak.
B.     PENYEBAB
Penyakit ini menular melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman tifus yaitu Salmonella typhi. Tinja yang mengandung kuman tifus ini mencemari air untuk minum maupun untuk masak dan mencuci makanan. Dapat juga disebabkan karena makanan tersebut disajikan oleh seorang penderita tifus laten (tersembunyi) yang kurang menjaga kebersihan saat memasak.
C.    PATOFISIOLOGI
Kuman salmonella typhi yg masuk ke saluran gastrointestinal akan ditelan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada didalam lamina propia. Sebagian dari salmonella typhi ada yang dapat masuk ke usus halus mengadakan invaginasi kejaringan limfoid usus halus (plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Kemudian salmonella typhi masuk melalui folikel limpa kesaluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang sistem retikulo endotelial (RES) yaitu; hati, limpa, dan tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruhb organ di dalam tubuh antara lain sistem saraf pusat, ginjal, dan jaringan limpa.
Usus yang terangsang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya, usus halus penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus.
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran usus halus yang ada disana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tungkak yang menembus serosa. Setelah penderita kambuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis.
Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari dan akan menurun menjelang pada pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik turun, dan turunnya dapat mencapai normal). Disamping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun hal ini tidak selalu terjadi dan dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES seperti nyeri perut kanan atas, spenomegali, dan hepatomegali.
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi fokal interi intestinal terjadi dengan tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase bakterimia dan berlangsung terus-menerus (demam kontinu), lidah kotor, tepi lidah hiperemis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorpsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada masa ini dapat terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena, shock, dan penurunan kesadaran (Parry, 2002) .Kondisi tifus abdominalis memberikan berbagai manifestasi masalah keperawatan yang akan diberikan perawat pada klinik.

D.    KOMPLIKASI
Komplikasi demam thypoid dapat dibagi atas 2 bagian, meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Komplikasi pada usus halus
a.       Perdarahan
b.      Perforasi
c.       Peritonitis (radang selaput rongga perut).
2.      Komplikasi Di luar usus halus
a.       Bronkhitis
b.      Bronkopneumonia
c.       Ensefalopati
d.      Meningitis
e.       Miokarditis

Penjelasan :
a.         Perforasi usus halus dapat berupa perforasi bebas atau terbatas. Perforasi bebas terjadi ketika isi usus halus keluar secara bebas kedalam rongga abdomen, menyebabkan terjadi peritonitis difuse misalnya perforasi duodenum. Perforasi terbatas terjadi peradangan akut menyebabkan perlekatan dengan organ sekitar sehingga terbentuk abses (penetrasi ulkus duodenum ke pankreas).
b.         Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
c.         Bronchitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru). Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut, bronkitis bisa bersifat serius.
d.        Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus serta bronkiolus, berupa distribusi berbentuk bercak-bercak. Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru, ditandai dengan adanya bercak-bercak. Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
e.         Ensefalopati merupakan nama umum dari gangguan fungsi otak, yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor antara lain infeksi, toksin, kelainan metabolik dan iskemik.  Gangguan fungsi otak yang luas dapat berubahan tingkat kesadaran. Selain itu adanya perubahan koginif atau tingkah laku dan kejang. Untuk menetapkan seorang anak menderita ensefalopati secara klinis, cukup dengan adanya gejala tersebut.
f.          Meningitis adalah radang selaput pelindung sistem saraf pusat. Penyakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian.
g.         Myocarditis adalah gangguan peradangan yang jarang terjadi tapi berpotensi mematikan yang sering sulit didiagnosis karena bisa tanpa gejala atau hadir dengan tanda-tanda dan gejala yang dapat dengan mudah dikacaukan dengan penyakit lain.
 Epidemiologi
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi. Salmonella typhes hanya dijumpai pada manusia dan terinfeksi dan dikeluarkan melalui tinja dan urine. Masa inkubasi 3-60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam thiphoid pada anak terutama di daerah endemis. Demam tiphoid sering dijumpai di banyak negara berkembang terutama di asia, Afrika, dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan, dan Bangladesh.
E.     GEJALA KLINIS
a.       Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan dewasa. Gejala dari tifus ini biasanya dimulai dengan demam yang muncul tiba-tiba, terutama pada sore hari. Dengan demikian maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam typhoid pada anak, terutama usia muda. Gejala demam thypoid pada anak bervariasi yaitu demam 1 minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan ganguan kesadaran.
b.    Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
c.    Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah typhoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat.
d.   Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-410 c) serta dapat pula bersifat ireguler tertama pada bayi.
e.    Lidah typhoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat dengan tanda-tanda antara lain lidah tmpak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahan dan bila penyakit lebih progresive maka akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lidah lebih prominent.
f.     Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan permulaan minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena emboli kuman pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas.  
g.    Masa inkubasi penyakit ini antara satu sampai dua minggu dan lamanya penyakit dapat mencapai enam minggu. Beberapa gejala yang dialami pasien antara lain :
·       Sakit kepala yang luar biasa.
·       Penurunan nafsu makan.
·       Nyeri nyeri pada seluruh tubuh.
·       Lemah.
F.     ANATOMI FISIOLOGIS
FISIOLOGI USUS
a.       Pengertian
Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Usus kecil dimulai dari duodenum yang berbentuk C, di mana proses pencernaan makanan hampir mendekati sempurna. Sisa usus halus ini panjang, berupa tabung sempit dengan tonjolan-tonjolan yang disebut dengan villi. Villi ini berfungsi menyerap nutrisi dari makanan yang telah dicerna.
b.      Fungsi
1.        Peristalsis
Peristalsis adalah gelombang kontraksi otot-otot dari usus yang akan mendorong makanan sepanjang saluran pencernaan.
2.        Penyerapan
Nutrisi diserap oleh villi pada usus halus, kemudian dipompa ke peredaran darah dan limfe (getah bening) yang terdapat pada villi (jonjot) usus halus.

FISIOLOGIS PENYAKIT
Tifus merupakan penyakit peradangan pada usus yang disebabkan infeksi bakteri Salmonella typhi yang tertular lewat makanan dan minuman yang airnya terinfeksi bakteri. Kuman ini masuk melalui mulut dan menyebar ke lambung lalu ke usus halus. Bakteri ini memperbanyak diri di dalam usus. Setelah memakan makanan yang terkontaminasi, kuman typhoid selanjutnya masuk ke dalam usus halus lalu ke pembuluh darah. Di dalam pembuluh darah, kuman typhoid dibawa oleh sel darah putih menuju hati, limpa dan sumsum tulang. Kuman selanjutnya bertambah banyak pada organ organ ini lalu kembali ke pembuluh darah. Saat inilah penderita typhoid akan merasakan gejala demam. Berikutnya kuman akan memasuki kandung empedu lalu jaringan getah bening usus. Disini kuman akan berkembang biak semakin banyak. Lalu kuman juga akan menembus dinding usus dan bercampur dengan kotoran. Selain dari pemeriksaan darah, demam typhoid juga dapat dipastikan dengan pemeriksaan kotoran.
Pada minggu pertama, kuman dari tifus hanya bisa dilihat dari feses. Lalu pada minggu kedua baru bisa diketahui lewat darah karena infeksi yang ada di usus sudah masuk ke dalam pembuluh darah. Dan pada minggu ketiga diagnosis bisa terlihat positif di urin. Biasanya pada minggu pertama tidak ditemukan hasil positif pada darah, itu yang sering orang sebut dengan gejala tifus. Padahal sebenarnya ia sudah terkena tifus tapi karena kumannya belum masuk ke pembuluh darah maka hasil tes darahnya negatif.



G.      PENATALAKSANAAN
            Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
1.      Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Penyembuhan penyakit tifus ini adalah untuk menghilangkan bakteri yang masuk di tubuh. Karena itu penderita harus istirahat total dan tidak banyak bergerak agar panas badan cepat turun. Jika banyak bergerak bisa membuat suhu badan naik dan kuman akan terus berkembang biak masuk ke dalam darah. Banyak bergerak juga tidak baik karena orang dengan tifus sedang mengalami masalah ususnya yang sedang ringkih yang bisa makin sakit jika banyak gerak. Orang dengan sakit tifus boleh makan seperti biasa dan tidak harus makan yang lembek-lembek. Yang terpenting jangan terlalu banyak mengonsumsi sayuran berserat,  hal ini karena sayuran berserat sulit dicerna oleh usus, sedangkan pada saat orang terkena tifus maka ususnya sedang luka akibat infeksi sehingga pasien harus mengurangi makanan yang sulit dicerna.
2.      Diet dan Terapi Penunjang
           Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a.       Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan.
b.      Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c.       Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
3.      Pemberian Antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kg BB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat-obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat-obatan ini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
H.    PENGKAJIAN
Pengkajian demam tiroid akan didapatkan sesuai dengan perjalanan patologis penyakit. Secara umum keluhan utama pasien adalah demam dengan atau tidak disertai menggigil. Apabila pasien datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dimana perjalanan penyakit pada minggu pertama akan didapatkan keluhan inflamasi yang belum jelas, sedangkan setelah minggu kedua, maka keluhan pasien menjadi lebih berat. Keluhan lain yang menyertai demam yang lazim didapatkan berupa keluhan nyeri kepala, anoreksia, mual muntal, diare, konstipasi dan neyri otot.
Pada pengkajian riwayat kesehatan mungkin didapatkan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik, sumber air minum yang tidak sehat, serta kebersihan perseorangan yang kurang baik. pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu divalidasi tentang adanya riwayat penyakit tifus abdominalis sebelumnya.
Pengkajian psikososial sering didapatkan adanya kecemasan dengan kondisi sakit dan keperluan pemenuhan informasi tentang pola hidup higienis. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan berbagai manifestasi klinik yang berhubungan dengan perjalanan penyakit demam tiroid.
Pemeriksaan fisik pada pasien tifus abdominalis / gastroenteritis
Pemeriksaan
Manifestasi Klinik
Survei umum dan tingkat kesadaran.
Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya perubahan. Pada fase lanjut, secara umum pasien terlihat sakit berat dan sering didapatkan penurunan tingkat kesadaran (apatis, delirium).
TTV
Pada fase 7-14hari didapatkan suhu tubuh meningkat 39-41o C pada malam hari dan biasanya turun pada siang hari. Pada pemeriksaan nadi didapatkan penurunan frekuensi nadi (bradikardi relatif).
B1(Breathing) Sistem pernafasan
Sistem pernafasan biasanya tidak didapatkan adanya kelainan, tetapi akan mengalami perubahan apalagi terjadi respons akut dengan gejala batuk kering. Pada beberapa kasus berat bisa didapatkan adanya komplikasi tanda dan gejala pneunomia
B2 (Blood) sistem kardiovaskuler dan hematologi.
Penurunan tekanan darah, keringat, dingin dan diaforesis sering didapatkan pada minggu pertama.
Kulit pucat dang akral dingin berhubunga dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada minggu ketiga, respon toksin sistemik bisa mencapai otot jantung dan terjadi miokarditis dengan manifestasi penurunan curah jantung dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri dada dan kelemahan fisik (brush, 2009) .
B3 (brain) Neuro sensori dan fungsi sistem saraf pusat.
Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan penurunan perfusi serebral dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu, gangguan mental seperti halusinasi dan delirium. Pada beberapa pasien bisa didapatkan kejang umum yang merupakan respon terlibatnya sistem saraf pusat oleh infeksi tifus abdominalis. Didapatkannya ikterus pada sklera terjadi pada kondisi berat .
B4 (Bladder)
Pada kondisi akan didapatkan penurunan urine output respons dari penurunan curah jantung.
B5 (bowel)
sistem Gastrointestinal
Inspeksi :
·         Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemis disertai stomatitis. Tanda ini jelas muka nampak pada minggu kedua berhubungan dengan infeksi dan endokrin kuman.
·         Sering muntah.
·         Perut kembung.
·         Distensi abdomen dan nyeri merupakan tanda yang diwaspadai terjadinya perforasi dan peritonitis.
Auskultasi :
·         Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5 kali/menit pada minggu pertama dan terjadi konstipasi serta selanjutnya meningkat akibat terjadi diare.
Perkusi :
·         Didapatkan suara timpani abdomen akibat kembung.
Palpasi :
·         Hepatomegali dan splenomegali. Pembesaran hati dan limfa mengindikasikan infeksi yang terjadi pada minggu ke II.
·         Nyeri tekan abdomen
B6 (bone)
Sistem muskuluskeletal dan intergumen.
Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik umum, dan didapatkan kram otot ekstermitas.
Pemeriksaan intergumen sering didapatkan kulit kering,turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam, dan yang terpenting sering didapatkan tanda Roseloa (bintik merah pada leher, punggung, dan paha). Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah, pucat serta hilang penekanan, lebih sering terjadi pada minggu pertama dan awal minggu kedua. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman Salmonelia dan terutama didapatkan di daerah perut, dada dan terkadang di bokong maupun bagian fleks dari lengan atas (Crumm, 2003).

Pengkajian diagnostik
Pengkajian diasnostik yang diperlukan adalah pemeriksaan laboraturium dan radiografi meliputi hal-hal berikut ini:
1.      Pemeriksaan darah
Untuk mengidentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang terbatas malabsobsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran seldarah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah leukosit antara 3000-4000 mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran leukosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat  
(Dutta, 2001)
2.      Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan (<2gr/liter) juga didapatkan peningkatan leukosit dalam urine.
3.      Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya peredaran darah usus dan perforasi.
4.      Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi adanya kuman Salmonella pada biakan darah tinja, urine, cairan empedu, atau sumsum tulang.
5.      Pemeriksaan serologis
Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Respons antibodi yang dihasilakan tubuh akibat infeksi kuman Salmonella adalah antibodi O dan H. Apabila titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1/2 minggu kemudian menunjukkan diagnosis positif dari infeksi salmonella typhi (papagrigorakis, 2007).
6.      Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.
Pengkajian penatalaksanaan medis
1.      Diet, makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
2.      Obat pilihan utama ialah kloramfenikol atau tiamfenikol.

Diagnosis keperawatan
1.      Hipertemi b.d respons sistemik dari inflamasi gastrointestinal.
2.      Aktual/resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya asupan makanan yang adekuat.
3.      Nyeri b.d iritasi saluran gastrotestinal.
4.      Risiko kerusakan intergritas jaringan b.d penekanan setempat, tirah baring lama, kelemahan fisik umum.
5.      Kecemasan b.d prognosis penyakit, misinterpretasi informasi.
6.      Pemenuhan informasi b.d ketidaka dekuatan informasi penatalaksanaan perawatan dan pengobatan, recana perawatan rumah.




I.       RENCANA KEPERAWATAN
Hipertermi b.d respons inflamasi sistemik
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam terjadi penurunan suhu tubuh
Kriteria evaluasi:
-          Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan.
-          Pasien mampu termotivasi untuk melaksanakan penjelasan yang telah diberikan.
Intervensi
Rasional
Evaluasi TTV pada setiap pergantian shift atau setiap ada keluhan dari pasien.
Sebagai pengawasan terhadap adanya perubahan keadaan umum pasien sehingga dapat dilakukan penanganan dan perawatan secara cepat dan tepat.
Kaji pengetahuan pasien dan keluarga tentang cara menurunkan suhu tubuh.
Sebagai data dasar untuk memberikan intervensi selanjutnya.
Lakukan tirah baring total.
Penurunan aktivitas akan menurunkan laju metabolisme yang tinggi pada fase akut, dengan demikian membantu menurunkan suhu tubuh.
Atur lingkungan yang kondusif.
Kondisi ruang kamar yang tidak panas, tidak bising, dan sedikit pengunjung memberikan efektifitas terhadap proses penyembuhan. Pada suhu ruangan kamar yang tidak panas, maka akan terjadi perpinadan suhu tubuh dari tubuh pasien keruangan. Proses radiasi merupakan pengeluaran suhu tubuh yang paling efektif, dimana sekitar 60% suhu tubuh dapat berpinadah melalui proses radiasi, sedangkan konveksi sekitar 15%. Perawat melakukan intervensi penting agar suhu ruangan kamar jangan secara mendadak dingin karena memberikan risiko penurunan suhu tubuh yang begitu cepat dan berpangaruh terhadap toleransi anak.
Beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah aksila, lipat paha, dan temporal bila terjadi panas.
Secara konduksi dan konveksi panas tubuh akan berpinadah dari tubuh ke material yang dingin. Pengeluaran suhu tubuh  dengan cara konduksi berkisar antara 3% dengan objek dan 15% dengan udara suhu kamar secara konveksi. Kompres dingin merupakan teknik penurunan suhu tubuh dengan meningkatkan efek konduktivitas, area yang digunakan adalah tempat dimana pembuluh darah arteri besar berada sehingga meningkatkan efektivitas dari proses konduksi.
Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat separti katun.
Pengeluaran suhu tubuh dengan cara evaporasi berkisar 22% dari pengeluaran suhu tubuh. Pakaian yang mudah menyerap keringat sangat efektif meningkatkan efek dari evaporasi.
Anjurkan keluarga untuk melakukan masase pada ekstremitas.
Masase dilakukan untuk meningkatkan aliran darah ke perifer dan terjadi vasodilatasi perifer yang akan meningkatkan efek evaporasi. Penggunaan cairan penghangat seperti minyak kayu putih dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas intervensi masase.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik.
Antipiretik bertujuan untuk memblok respons panas sehingga suhu tubuh pasien dapat lebih cepat menurun.

Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder dari nyeri, ketidaknyamanan lambung dan intestinal.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.
Kriteria evaluasi:
-          Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu.
-          Menunjukkan peningkatan BB.
Intervensi
Rasional
Kaji pengetahuan pasien tentang asupan nutrisi.
Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi individu pasien. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan tersebut perawat dapat lebih terarah dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan pengetahuan pasien secara efisien dan efktif.
Berikan nutrisi oral secepatnya setelah rehidrasi dilakukan.
Pemberian sejak awal setelah intervensi rehidrasi dilakukan dengan memberikan makanan lunak yang mengandung kompleks karbohidrat seperti nasi lembek, roti, kenyang, dan sedikit sedikit daging khususnya ayam (Levine, 2009). Pemberian bubur saring kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat toleransi pada masa lalu dengan tujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Akan tetapi pada kondisi klinik, hal ini tidak memberikan perbaikan karena sebagian besar pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Oleh karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakain mundur dan masa penyembuhan menjadi lama.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Oleh karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam atau bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa.
Monitor perkembangan BB.
Penimbangan berat badan dilakukan sebagai evaluasi terhadap intervensi yang diberikan.

Nyeri b.d. iritasi gastrointestinal, adanya mules dan muntah
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
-          Secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
-          Skala nyeri 0-1 (0-4). Dapat mengidentifikasi aktivasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
-          Pasien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasi.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
·         Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul.
·         Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam pada saat nyeri muncul.

·      Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
·      Manajemen lingkungan: lingkungan tenang, batasi pengunjung dan istirahatkan pasien.
Istirahat secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal.
Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia spina.
Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal.
Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan batasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer.
Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan passien terhadap rencana terapeutik.

Resiko kerusakan integritas jaringan b.d  penekanan setempat, tirah baring lama, kelemahan fisik umum.
Tujuan  : dalam waktu 5 x 24 jam resiko dekubitus  tidak terjadi.
Kriteria evaluasi :
-          Pasien mampu melakukan pencegahan dekubitus
-          Area yang beresiko tinggi penekanan setempat tidak hiperemi atau tidak ada gejala dekubitus.
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien  tentang cara dan tehnik peningkatan kondisi mobilisasi.
Tingkat pengetahuan dipengaruhi  oleh kondisi sosial ekonomi pasien. Perawat menggunakan pendekatan yang sesuai  dengan kondisi individu pasien  dengan mengetahui tingkat pengetahuan tersebut perawat dapat lebih terarah dalam memberikan pendidikan  yang sesuai dengan pengetahuan pasien  secara efisien dan efektif.
Lakukan mobilisasi miring kiri-kanan tiap 2 jam.
Mencegah penekanan tempat yang berlanjut pada nekrosis jaringan lunak.
Jaga kebersiha dan ganti sprei bila kotor atau basah.
Mencegah stimulus kerusakan pada area bokong yang beresiko dekubitus
Bantu pasien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Untuk memelihara fleksibelitas sendi  sesuai kemampuan  dan meningkatkan aliran darah ke ekstremitas.
Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan  pada waktu berubah posisi.
Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler.
Observasi terhadap eritema dan kepucatan, serta palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi.
Deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnyasensasi resiko tinggi  kerusakan integritas kulit  kemungkinan komplikasi badrest total dan imobilisasi. Hangat dan pelunakan adalah tanda  kerusakan jaringan.

Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit misinterpretasi informasi
Tujuan : secara subyektif melaporkan rasa cemas berkurang
Kriteria evaluasi :
-          Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat.
-          Pasien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan perubahan  koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi.
-          Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan/ ketakutan dibawah standar.
-          Pasien dapat rileks dan tidur/ istirahat yang baik.
Intervensi
Rasional
Monitor respon fisik seperti kelemahan perubahan tanda vital, gerakan yang berulang-ulang. Catat kesesuaian respon verbal dan non verbal selama komunikasi.
Digunakan untuk mengevaluasi derajat atau tingkat kesadaran/konsentrasi khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.
Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takut.
Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengekspresikan rasa takut dan kekhawatiran tentang akan adanya perasaan malu akibat kurang kontrol terhadap eliminasi usus. Ketakutan akan rasa malu ini sering menjadi masalah utama.
Catat reaksi dari pasien atau keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusikan perasaannya/ konsentrasi dan harapan masa depan.
Anggota keluarga dengan responnya pada apa  yang terjadi dan kecemasannya dapat disampaikan kepada pasien.
Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampuan individu. Seperti nonton tv.
Meningkatkan distraksi dan pikiran pasien dengan kondisi pasien.

Pemenuhan informasi b.d  ketidak adekuatan informasi  penatalaksanaan perawatan  dann pengobatan rencana perawatan rumah.
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam  pasien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
Kriteria evaluasi :
-          pasien mampu mengulang kembali informasi penting yang diberikan
-          pasien terlihat termotivasi terhadap invormasi yang dijelaskan.
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran tingkat kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan pasien sebelumnya suasana yang terjadi.
Keberhasilan proses pembelajaran dipengarushi oleh kesiapan fisik, emosi dan lingkungan yang kondusif.
Jelaskan pola hidup sehat.
Pasien diberi tahu tentang cara penyediaan makanan sehat, pengolahan makanan sesuai dengan cara sehat, menggunakan air bersih yang sehat dan menghindari mengkonsumsi makanan yang tidak terjamin kebersihannya. Cara higenis meliputi cara mencuci tangan sebelum makan dan kalau perlu menggunakan sendok, kuku selalu pendek dan bersih, serta mencucui tangan dengan sabun pada waktu cebok sehabis BAB.





EVALUASI
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan untervensi keperawatan adalah sebagai berikut
  1. terjadi penurunan susu tubuh.
  2. asupan nutrisi adekuat.
  3. penurunan tingkat nyeri atau nyeri teradaptasi.
  4. tidak terjadi kerusakan integritas jaringan dekubitus.
  5. penurunan tingkat kecemasan.
  6. terpenuhinya tingkat informasi kesehatan.



DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala . 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika : Jakarta

1 komentar:

Obat Demam Tifoid Alami mengatakan...

terimakasih nih pembahasannya...