A.
PENGERTIAN
Kolelitiasis
(kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu
empedu di dalam kandung empedu (vesika fellea) dari unsur-unsur padat yang
membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang
bervariasi.
Kolelitiasis
tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda, tapi insidennya semakin
sering pada individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada
usia 75 tahun, satu dari tiga orang akan memiliki batu empedu.
Kolelitiasis
disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.
B.
ETIOLOGI
Batu empedu
hampir selalu di bentuk dalam kandung empedu dan jarang pada bagian saluran
empedu lainnya. Etiologi atau penyebab batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah
gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu.
Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan
batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita penyakit
batu kolesterol mengekresi empedu yang
supersaturasi dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Stasis empedu
dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan
susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu atau spasme sfinkter oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor
hormonal, khususnya selama kehamilan, dapat dikaitkan dengan perlambatan
pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri
dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada pembentukan batu
dengan peningkatan deskuamasi selular dan pembentukan mukus. Mukus dapat
meningkatkan viskositas, dan unsur selular atau bakteri dapat berperanan
sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, kemungkinan bahwa infeksi lebih sering
sebagai akibat pembentukan batu empedu, dibandingkan infeksi menyebabkan
pembentukan batu.
C.
PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu
empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi,
(2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya
pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu
pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam
empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga
tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air.
Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai
inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam
empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam
empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu
dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol,
kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk
suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi
yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas,
atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih
pengkristalan.
Table patofisiologi
Respon Sistemik
|
Gangguan
Gastrointestinal
|
Kecemasan
Pemenuhan informasi
|
Intoleransi
aksivitas
|
Resiko infeksi
|
Kelelahan,
malaise, pemakaian energi berlebihan pasca - nyeri
|
Obesitas,
resistensi insulin, diabetes melitus tinggkat II, hipertensi, dan
hiperlipidemia
|
Peningkatan
sekresi kolesterol
|
Oklusi dan
Obstruksi dari batu
|
Kalsium
palmitat dan stearat
|
Batu
pigmen
|
Cedera
tulang belakang, puasa berkepanjangan, pemberian diet
nutrisi total parenteral, dan penurunan berat badan yg
berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya
diet, avagotomi dan operasi bypass lambung)
|
Kehamilan
multipel
|
Peningkatan
kadar progesteron
|
Bilirubin
tak tergonjugasi
|
Anemia
hemolitik sirosis hepatis
|
Penurunan
pembentukan misel
|
Bakteri
(kolangitis kolesistitis)
|
Penyakit
Crohn Reseksi usus
|
Statis
bilier
|
Penurunan
garam empedu
|
Batu
Kolesterol
|
Batu Empedu
|
Kalsium
Bilirubinat
|
Ikterus
|
Intervensi
bedah, intervensi litotripsi, intervensi endoskopik
|
Pola napas
tidak efektif
|
Tekanan di
duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan kontraksi
peristaltik
|
Obstruksi
duktus sistikus atau duktus biliaris
|
Preoperatif
|
Respon
psikologis Misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan
pengobatan
|
Pascaoperatif
|
Port de Entree Pasca bedah
|
Respons loka
saraf
|
Nyeri
|
Kerusakan
jaringan pasca bedah
|
Mual, muntah,
anoreksia
|
Intake nutrisi
dan cairan tidak adekuat
|
Penurunan
cairan tubuh
|
Peningkatan
suhu tubuh
|
Hipertermi
|
Resiko tidak
seimbangan caairan dan elektrolit
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan
|
D.
MANIFESTASI
KLINIK
Batu empedu bisa
terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya
menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu tersebut mungkin
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk
gangguan yang tidak berhubungan.
Penderita
penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala :
gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala
yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya
bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh,
distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat
terjadi. Gangguan ini dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang
berlemak atau yang digoreng.
·
Rasa
Nyeri Dan Kolik Bilier.
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu
empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien
akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat
mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas
yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri itu biasanya disertai
dengan mual dan muntah dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah
makan makanan dalam porsi besar. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan
gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian
pasien, rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.
Mekanisme mual dan muntah
Obstruksi saluran empedu
↓
Alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam
empedu, kolesterol)
↓
Proses peradangan disekitar hepatobiliar
↓
Pengeluaran enzim-enzim SGOT dan SGPT
↓
Peningkatan SGOT dan SGPT
↓
Bersifat iritatif di saluran cerna
↓
Merangsang nervus vagal (N.X Vagus)
↓
Menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis
Penurunan peristaltik sistem Akumulasi gas usus
pencernaan (usus dan lambung) di sistem pencernaan
↓ ↓
Makanan tertahan di lambung Rasa penuh dengan gas
↓ ↓
Peningkatan rasa mual Kembung
↓
Pengaktifan pusat muntah (medula oblongata)
↓
Pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan,
serta neuron-neuron motorik spinalis
ke otot-otot abdomen dan diafragma
↓
Muntah
Serangan kolik bilier semacam ini
disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu
keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian
fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago
kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan
menghambat pengembangan rongga dada.
·
Ikterus.
Ikterus dapat dijumpai di antara
penderita penyakit kandung empedu dengan presentase yang kecil dan biasanya
terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke
dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang
tidak lagi dibaawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini
sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
·
Perubahan
Warna Urine dan Feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen
empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay-coloured”.
·
Defisiensi
Vitamin.
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu
absorbsi vitamin A, D, E dan K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier
berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak
lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar
dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relative singkat. Jika batu
empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat menyebabkan
abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.
E.
EVALUASI
DIAGNOSTIK
·
Pemeriksaan
Sinar-X Abdomen.
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat
dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15% hingga 20%
batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui
pemeriksaan sinar-X.
·
Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan
kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat digunakan pada penderita
disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam
keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan pada gelombang suara yang
dipantulkan kembali. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi. Dilaporkan bahwa USG
mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.
·
Pemeriksaan
Radionuklida atau Koleskintografi.
Koleskintografi telah berhasil dalam
membantu menegakkan diagnosis kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat
radioaktif disuntikkan melalui intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh
hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam system bilier. Selanjutnya
dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan
percabangan bilier. Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG, memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mengerjakannya, membuat pasien terpajan sinar radiasi, dan
tidak dapat mendeteksi batu empedu. Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus
yang dengan pemeriksaan USG, diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
·
Kolesistografi.
Meskipun sudah digantikan dengan USG
sebagai pemeriksaan pilihan, kolesistografi masih digunakan jika alat USG tidak
tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan
untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
Media kontras yang mengandung iodium yang diekskresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang
normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan tampak pada foto rontgen.
Preparat yang diberikan sebagai bahan
kontras mencakup asam iopanoat (Telepaque), iodipamie meglumine (Cholografin)
dan sodium ipodat (Oragrafin). Semua preparat ini diberikan dalam dosis oral,
10-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan sinar-X. sesudah diberikan preparat
kontras, pasien tidak boleh mengkonsumsi apapun untuk mencegah kontraksi dan
untuk pengosongan kandung empedu.
Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia
mempunyai riwayat alergi terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada
riwayat alergi, pasien mendapat preparat kontras oral pada malam harinya
sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan. Foto rontgen mula-mula dibuat pada
abdomen kuadaran kanan atas. Apabila kandung empedu tampak terisi dan dapat
mengosongkan isinya secara normal serta tidak mengandung batu, kita dapat
menyimpulkan bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu. Apabila terjadi
penyakit kandung empedu, maka kandung empedu tersebut mungkin tidak terlihat
karena adanya obstruksi oleh batu empedu. Pengulangan pembuatan kolesistogram
oral dengan pemberian preparat kontras yang kedua mungkin diperlukan jika
kandung empedu pada pemeriksaan pertama tidak tampak.
Kolesistografi pada pasien yang jelas
tampak ikterik tidak akan memberikan hasil yang bermanfaat karena hati tidak dapat
mengekskresikan bahan kontras radiopaque kedalam kandung empedu pada pasien
ikterik. Pemeriksaan kolesistografi oral kemungkinan besar akan diteruskan
sebagai bagian dari evaluasi terhadap pasien yang telah mendapatkan terapi
pelarutan batu empedu atau litotripsi.
·
Kolangiopankreatografi
retrograde endoskopik (ERCP; Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography).
Pemeriksaan ERCP atau
kolangiopankreatografi retrograde endoskopik memungkinkan visualisasi struktur
secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi.
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam
esophagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukkan ke
dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil batu empedu.
Intervensi
Keperawatan. Pemeriksaan ERCP
memerlukan kerjasama pasien untuk memungkinkan insersi endoskop tanpa merusak
struktur traktus gastrointestinal yang mencakup percabangan bilier. Sebelum
pemeriksaan dilakukan, kepada pasien dijelaskan tentang prosedur pemeriksaan
dan peranan pasien dalam pemeriksaan tersebut. Preparat sedative diberikan
sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan. Selama pemeriksaan ERCP dilakukan,
perawat harus memantau cairan infuse yang diberikan, memberikan obat-obatan dan
mengatur posisi pasien.
Setelah pemeriksaan selesai dikerjakan,
perawat harus memantau kondisi pasien, mengobservasi tanda-tanda vital dan
memantau tanda-tanda perforasi atau infeksi. Perawat juga perlu melakukan
pemantauan terhadap efek samping setiap obat yang diberikan selama prosedur
pemeriksaan dan terhadap pemulihan reflex muntah (gag reflex) sesudah
penggunaan anestesi lokal.
·
Kolangiografi
Transhepatik Perkutan.
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi
penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu terlalu besar, maka semua
komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam
hati, keseluruhan panjang duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu,
dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
Prosedur pemeriksaan ini dapat
dilaksanakan bahkan pada keadaan terdapatnya disfungsi hati dan ikterus. ERCP
berguna untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus
hepatoseluler) dengan ikterus yang disebabkan oleh obstruksi bilier; untuk
menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya
sudah diangkat; untuk menentukan lokasi batu dalam saluran empedu; dan untuk
menegakkan diagnosis penyakit kanker yang mengenai system bilier.
Prosedur.
Pasien yang sudah berpuasa dan sudah dalam keadaan sedasi yang baik dibaringkan
telentang pada meja sinar-X. tempat penyuntikan, yang biasanya pada
midklavikularis tepat dibawah tepi kosta kanan, didisinfeksi dan dianestesi
dengan lidokain (Xylocain). Sebuah insisi yang kesil dibuat pada titik ini dan
jarum fleksibel yang tipis dengan stilet ditusukkan ke posterior dengan sudut
45 derajat dan sejajar garis tengah. Ketika jarum tersebut sudah mencapai
kedalaman kurang-lebih 10 cm (4 inchi), stilet dicabut dan digantikan oleh
selang konektor plastic yang terpasang spuit 50 ml. Sementara jarum ditarik
perlahan-lahan, pengisapan dilakukan dengan hati-hati sampai getah empedu
tampak dalam tabung spuit. Setelah sebanyak mungkin getah empedu dihisap kelar,
bahan kontras radiopaque disuntikkan dan kemudian dibuat foto sinar-X.
Sebelum jarum dilepas, bahan kontras dan
getah empedu diaspirasi sebanyak mungkin untuk mengantisipasi kebocoran lewat
lintasan jarum yang dapat memasuki rongga peritoneal. Dengan demikian, aspirasi
ini dilakukan untuk memperkecil resiko peritonitis bilier.
Intervensi
Keperawatan. Meskipun angka
komplikasi setelah prosedur pemeriksaan ini cukup rendah, pasien harus
diobservasi dengan ketat akan adanya gejala pendarahan, peritonitis dan septikemia.
Rasa nyeri dan tanda-tanda yang menunjukkan komplikasi ini harus segera
dilaporkan. Antibiotik harus diberikan seperti yang diresepkan untuk memperkecil
resiko sepsis dan syok septik.
F. PENATALAKSANAAN
KOLELITIASIS/KOLEDOKOLITIASIS
Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Kurang lebih 80%
dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat,
cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk.
Manajemen terapi :
*
Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
*
Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut
*
Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
*
Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok
*
Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
Pengangkatan Batu
Empedu Tanpa Pembedahan
*
Pelarutan batu empedu
Pelarutan batu
empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier butil
eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang dipasang
perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang
dimasukkan melalui saluran T Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan
pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
* Pengangkatan non bedah
* Pengangkatan non bedah
Beberapa metode
non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang belum terangkat pada saat
kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur pertama
sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat
saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T Tube;
jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam
duktus koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP. Setelah
endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam
ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong
serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter oddi sehingga mulut spingter
tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk
bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan
jaring atau balon kecil pada ujungnya dapat dimasukkan melalui endoskop untuk
mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang
terjadi, namun kondisi pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati
kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
*
ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)
Prosedur non invasive
ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan
pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi beberapa fragmen.
Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah
pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi
gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier
dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala
yang dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur
darurat bilamana kondisi psien mengharuskannya.
Tindakan operatif meliputi :
*
Sfingerotomy endosokopik
*
PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
*
Pemasangan “T Tube ” saluran empedu koledoskop
*
Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube
Penatalaksanaan pra operatif :
1.
Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu
2.
Foto thoraks
3.
Ektrokardiogram
4.
Pemeriksaan faal hati
5.
Vitamin K (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)
6.
Terapi komponen darah
7.
Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa scara intravena bersama
suplemen hidrolisat protein mungkin diperlikan untuk membantu kesembuhan luka
dan mencegah kerusakan hati
G.
KOMPLIKASI
BATU EMPEDU
Komplikasi dari kolelitiasis
diantaranya adalah :
a.
Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan kolessistitis akut dengan sumbatan duktus
sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat disertai kuman
kuman pembentuk pus.
b.
Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sitikus.
c.
Gangren,
gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan
berbercak atau total.
d.
Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang ditimbulkan oleh
peradangan berulang kandung empedu. Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan
kematian sekitar 30%.
e.
Pembentukan fistula
f.
Ileus batu empedu :
obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang
besar kedalam lumen usus.
g.
Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.
H.
FAKTOR RESIKO
Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
- Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
- Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
- Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
- Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
- Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
- Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
- Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan
kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/
nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
K.
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
v Pengkajian
1.
Aktivitas/Istirahat
Gejala :
kelemahan.
Tanda : geilsah.
Tanda : geilsah.
2. Sirkulasi
Gejala/Tanda : takikardia, berkeringat.
Gejala/Tanda : takikardia, berkeringat.
3. Eliminasi
Gejala : perubahan warna urine & feses.
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine gelap, pekat, feses warna tanah liat, steatorea.
Gejala : perubahan warna urine & feses.
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine gelap, pekat, feses warna tanah liat, steatorea.
4. Makanan/Cairan
Gejala : anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak & makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dyspepsia.
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan.
Gejala : anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak & makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dyspepsia.
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan.
5. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai tiba-tiba & biasanya memuncak dalam 30 menit.
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, tanda Murphy positif.
Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai tiba-tiba & biasanya memuncak dalam 30 menit.
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, tanda Murphy positif.
6. Pernapasan
Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, penapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal.
Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, penapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal.
7. Keamanan
Tanda : demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat & gatal (pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan vit. K).
Tanda : demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat & gatal (pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan vit. K).
8. Penyuluhan dan
Pembelajaran
Gejala : kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu, adanya kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah.
Gejala : kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu, adanya kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah.
9. Pemeriksaan Diagnostik
·
Darah lengkap :
Leukositis sedang (akut).
·
Billirubin &
amilase serum : meningkat.
·
Enzim hati serum-AST
(SGOT) : ALT (SGPT), LDH : agak meningkat, alkalin fosfat & S-nukleotidase,
ditandai pe obstruksi bilier.
·
Kadar protombin :
menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorpsi vit. K.
·
Ultrasound : menyatakan
kalkuli & distensi empedu/duktus empedu.
·
Kolangiopankreatografi
retrograd endoskopik : memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus
koledukus melalui duodenum.
·
Kolangiografi
transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi antara
penyakit kandung empedu & kanker pangkreas.
·
CT-Scan : dapat
menyatakan kista kandung empedu.
·
Scan hati : menunjukkan
obstruksi percabangan bilier.
10. Prioritas
Keperawatan
1.
Menghilangkan nyeri & meningkatkan istirahat.
2.
Mempertahankan keseimbangan cairan & elektrolit.
3.
Mencegah komplikasi.
4.
Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis
11. Tujuan
Pemulangan
1.
Nyeri hilang.
2.
Homeostasis meningkat.
3.
Komplikasi dicegah/minimal.
4. Proses penyakit, prognosis & program pengobatan dipahami.
4. Proses penyakit, prognosis & program pengobatan dipahami.
v
Diagnosa Keperawatan & Intervensi
1. Nyeri
(akut) berhubungan dengan agen cedera biologis : obstruksi/spasme duktus,
proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
Hasil yang diharapkan :
Hasil yang diharapkan :
ü Melaporkan
nyeri hilang.
ü Menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi untuk
situasi individual.
Intervensi :
ü Observasi
dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, hilang
timbul, kolik).
Rasional : membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
Rasional : membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
ü Catat
respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang.
Rasional : nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
Rasional : nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
ü Tingkatkan
tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
Rasional : tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah.
Rasional : tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah.
ü Control
suhu lingkungan.
Rasional : dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.
Rasional : dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.
ü Dorong
menggunakan tehnik relaksasi, contoh : bimbingan imajinasi, visualisasi,
latihan nafas dalam, berikan aktivitas senggang.
Rasional : meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping.
Rasional : meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping.
ü Sediakan
waktu untuk mendengar dan mempertahankan kontak dengan pasien sering.
Rasional : membantu dalam menghilangkan cemas dan memusatkan kembali perhatian yang dapat menghilangkan nyeri.
Rasional : membantu dalam menghilangkan cemas dan memusatkan kembali perhatian yang dapat menghilangkan nyeri.
ü Berikan
obat sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan reflex spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen nyeri.
Rasional : menghilangkan reflex spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen nyeri.
2. Resiko
tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
melalui pengisapan gaster berlebihan : muntah, distensi, dan hipermotilitas gaster.
Hasil yang diharapkan :
Hasil yang diharapkan :
ü Menunjukkan
keseimbangan cairan adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil.
ü Membrane
mukosa lembab.
ü Turgor
kulit baik.
ü Pengisian
kapiler baik.
ü Secara
individu mengeluarkan urin cukup dan tak ada muntah.
Intervensi
:
ü Pertahankan
masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari masukan,
peningkatan berat jenis urin, nadi perifer, dan pengisian kapiler.
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian.
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian.
ü Awasi
tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram abdomen, kelemahan,
kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, parestesia, hipoaktif,
atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.
Rasional : muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan deficit natrium, kalium, dan klorida.
Rasional : muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan deficit natrium, kalium, dan klorida.
ü Hindarkan
dari lingkungan yang berbau.
Rasional : menurunkan rangsangan pada pusat muntah.
Rasional : menurunkan rangsangan pada pusat muntah.
ü Lakukan
kebersihan oral dengan pencuci mulut ; berikan minyak.
Rasional : menurunkan kekeringan membrane mukosa, menurunkan risiko perdarahan oral.
Rasional : menurunkan kekeringan membrane mukosa, menurunkan risiko perdarahan oral.
ü Gunakan
jarum kecil untuk injeksi dan melakukan tekanan pada bekas suntikan lebih lama
dari biasanya.
Rasional : menurunkan trauma, risiko perdarahan/pembentukan hematom.
Rasional : menurunkan trauma, risiko perdarahan/pembentukan hematom.
ü Kaji
perdarahan yang tak biasanya, contoh perdarahan terus-menerus pada sisi
injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, ptekie, hematemesis/melena.
Rasional : protombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan risiko perdarahan/hemoragik.
Rasional : protombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan risiko perdarahan/hemoragik.
ü Pertahankan
pasien puasa sesuai keperluan.
Rasional : menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
Rasional : menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
3. Risiko
tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Hasil yang diharapkan :
Hasil yang diharapkan :
ü Melaporkan
mual/muntah hilang.
ü Menunjukkan
kemajuan mencapai berat badan atau mempertahankan berat badan individu yang
tepat.
Intervensi :
ü Hitung
masukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal.
Rasional : mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi, berfokus pada masalah membuat suasana negative dan mempengaruhi masukan.
Rasional : mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi, berfokus pada masalah membuat suasana negative dan mempengaruhi masukan.
ü Timbang
sesuai indikasi.
Rasional : mengevaluasi keefektifan rencana diet.
Rasional : mengevaluasi keefektifan rencana diet.
ü Konsul
tentang kesukaan/ketidaksukaan pasien, makanan yang menyebabkan distress, dan
jadwal makan yang disukai.
Rasional : melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuka makan.
Rasional : melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuka makan.
ü Berikan
suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual.
Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual.
ü Berikan
kebersihan oral sebelum makan.
Rasional : mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
Rasional : mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
ü Ambulasi
dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
Rasional : membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan kemungkinan masalah sekunder sehubungan dengan imobilisasi.
Rasional : membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan kemungkinan masalah sekunder sehubungan dengan imobilisasi.
ü Konsul
dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi.
Rasional : berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang paling tepat.
Rasional : berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang paling tepat.
4. Kurang
Pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan tidak
mengenal sumber informasi.
Hasil yang diharapkan :
Hasil yang diharapkan :
ü Menyatakan
pemahaman proses penyakit, pengobatan, prognosis.
ü Melakukan
perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi
:
ü Berikan
penjelasan/alasan tes dan persiapannya.
Rasional : informasi menurunkan cemas, dan rangsangan simpatis.
Rasional : informasi menurunkan cemas, dan rangsangan simpatis.
ü Kaji
ulang proses penyakit/prognosis, diskusikan perawatan dan pengobatan, dorong
pertanyaan, ekspresikan masalah.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. Komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan tingkatkan penyembuhan.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. Komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan tingkatkan penyembuhan.
ü Diskusikan
program penurunan berat badan bila diindikasikan.
Rasional : kegemukan adalah fakor risiko yang dihubungkan dengan kolesistitis, dan penurunan berat badan menguntungkan dalam manajemen medik terhadap kondisi kronis.
Rasional : kegemukan adalah fakor risiko yang dihubungkan dengan kolesistitis, dan penurunan berat badan menguntungkan dalam manajemen medik terhadap kondisi kronis.
ü Anjurkan
pasien untuk menghindari makanan/minuman tinggi lemak (contoh : susu segar, es
krim, mentega, makanan gorengan, kacang polong, bawang, minuman karbonat), atau
zat iritan gaster (contoh : makanan pedas, kafein, sitrun).
Rasional : mencegah/membatasi terulangnya serangan kandung empedu.
Rasional : mencegah/membatasi terulangnya serangan kandung empedu.
·
Perencanaan
Perencanaan
merupakan aktifitas berorientasi tujuan dan sistemik dimana rancangan
intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan.
·
Implementasi
Implementasi adalah fase
ketika perawat melakukan proses asuhan keperawatan yang sesuai dengan tujuan
yang spesifik. Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik .
·
Evaluasi
Perawat dapat melakukan
evaluasi terhadap respon klien dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan pada
klien untuk mendapatkan kasus sebagai data dalam melaksanakan asuhan
keperawatan yang berkesinambungan.
Evaluasi adalah proses yang
terus menerus karena setiap intervensi dikaji efektivitasnya dan intervensi
alternative digunakan sesuai kebutuhan. Evaluasi adalah tindakan intelektual
untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Evaluasi adalah fase akhir
proses keperawatan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
sebagai pola pikirnya.
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan
O : Respon
Objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Analisa ulang
atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap
atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang
ada.
P : Perencanaan
atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC
Harisson. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Vol 4.
Jakarta : EGC
S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles
of Surgery), Edisi 6. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar