Jumat, 27 Januari 2012

KOLELITIASIS


A.    PENGERTIAN
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika fellea) dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.          

Kolelitiasis tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda, tapi insidennya semakin sering pada individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun, satu dari tiga orang akan memiliki batu empedu.
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.


B.     ETIOLOGI
Batu empedu hampir selalu di bentuk dalam kandung empedu dan jarang pada bagian saluran empedu lainnya. Etiologi atau penyebab batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita penyakit batu kolesterol  mengekresi empedu yang supersaturasi dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfinkter oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal, khususnya selama kehamilan, dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan peningkatan deskuamasi selular dan pembentukan mukus. Mukus dapat meningkatkan viskositas, dan unsur selular atau bakteri dapat berperanan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, kemungkinan bahwa infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu, dibandingkan infeksi menyebabkan pembentukan batu.


C.    PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan.  Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.  Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.  Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.



Table patofisiologi
Respon Sistemik
Gangguan Gastrointestinal
Kecemasan Pemenuhan informasi
Intoleransi aksivitas
Resiko infeksi
Kelelahan, malaise, pemakaian energi berlebihan pasca - nyeri
Obesitas, resistensi insulin, diabetes melitus tinggkat II, hipertensi, dan hiperlipidemia
Peningkatan sekresi kolesterol
Oklusi dan Obstruksi dari batu
Kalsium palmitat dan stearat
Batu pigmen
Cedera tulang belakang, puasa berkepanjangan, pemberian diet nutrisi total parenteral, dan penurunan berat badan yg berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya diet, avagotomi dan operasi bypass lambung)
Kehamilan multipel
Peningkatan kadar progesteron
Bilirubin tak tergonjugasi
Anemia hemolitik sirosis hepatis
Penurunan pembentukan misel
Bakteri (kolangitis kolesistitis)
Penyakit Crohn Reseksi usus
Statis bilier
Penurunan garam empedu
Batu Kolesterol
Batu Empedu
Kalsium Bilirubinat
Ikterus
Intervensi bedah, intervensi litotripsi, intervensi endoskopik
Pola napas tidak efektif
Tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik
Obstruksi duktus sistikus atau duktus biliaris
Preoperatif
Respon psikologis Misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatan
Pascaoperatif
Port de Entree Pasca bedah
Respons loka saraf
Nyeri
Kerusakan jaringan pasca bedah
Mual, muntah, anoreksia
Intake nutrisi dan cairan tidak adekuat
Penurunan cairan tubuh
Peningkatan suhu tubuh
Hipertermi
Resiko tidak seimbangan caairan dan elektrolit
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

D.    MANIFESTASI KLINIK
Batu empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu tersebut mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala : gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang digoreng.
·         Rasa Nyeri Dan Kolik Bilier.
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri itu biasanya disertai dengan mual dan muntah dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien, rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.

Mekanisme mual dan muntah
Obstruksi saluran empedu
Alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu, kolesterol)
Proses peradangan disekitar hepatobiliar
Pengeluaran enzim-enzim SGOT dan SGPT
Peningkatan SGOT dan SGPT
Bersifat iritatif di saluran cerna
Merangsang nervus vagal (N.X Vagus)
Menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis

Penurunan peristaltik sistem Akumulasi gas usus
pencernaan (usus dan lambung) di sistem pencernaan
↓ ↓
Makanan tertahan di lambung Rasa penuh dengan gas
↓ ↓
Peningkatan rasa mual Kembung
Pengaktifan pusat muntah (medula oblongata)
Pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan,
serta neuron-neuron motorik spinalis
ke otot-otot abdomen dan diafragma
  Muntah
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga dada.
·         Ikterus.
Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibaawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
·         Perubahan Warna Urine dan Feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay-coloured”.
·         Defisiensi Vitamin.
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin A, D, E dan K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relative singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat menyebabkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.

E.     EVALUASI DIAGNOSTIK
·         Pemeriksaan Sinar-X Abdomen.
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15% hingga 20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
·         Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan  USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi. Dilaporkan bahwa USG mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.
·         Pemeriksaan Radionuklida atau Koleskintografi.
Koleskintografi telah berhasil dalam membantu menegakkan diagnosis kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat radioaktif disuntikkan melalui intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier. Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG, memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengerjakannya, membuat pasien terpajan sinar radiasi, dan tidak dapat mendeteksi batu empedu. Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus yang dengan pemeriksaan USG, diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
·         Kolesistografi.
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pemeriksaan pilihan, kolesistografi masih digunakan jika alat USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekskresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan tampak pada foto rontgen.
Preparat yang diberikan sebagai bahan kontras mencakup asam iopanoat (Telepaque), iodipamie meglumine (Cholografin) dan sodium ipodat (Oragrafin). Semua preparat ini diberikan dalam dosis oral, 10-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan sinar-X. sesudah diberikan preparat kontras, pasien tidak boleh mengkonsumsi apapun untuk mencegah kontraksi dan untuk pengosongan kandung empedu.
Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia mempunyai riwayat alergi terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada riwayat alergi, pasien mendapat preparat kontras oral pada malam harinya sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan. Foto rontgen mula-mula dibuat pada abdomen kuadaran kanan atas. Apabila kandung empedu tampak terisi dan dapat mengosongkan isinya secara normal serta tidak mengandung batu, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu. Apabila terjadi penyakit kandung empedu, maka kandung empedu tersebut mungkin tidak terlihat karena adanya obstruksi oleh batu empedu. Pengulangan pembuatan kolesistogram oral dengan pemberian preparat kontras yang kedua mungkin diperlukan jika kandung empedu pada pemeriksaan pertama tidak tampak.
Kolesistografi pada pasien yang jelas tampak ikterik tidak akan memberikan hasil yang bermanfaat karena hati tidak dapat mengekskresikan bahan kontras radiopaque kedalam kandung empedu pada pasien ikterik. Pemeriksaan kolesistografi oral kemungkinan besar akan diteruskan sebagai bagian dari evaluasi terhadap pasien yang telah mendapatkan terapi pelarutan batu empedu atau litotripsi.
·         Kolangiopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP; Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography).
Pemeriksaan ERCP atau kolangiopankreatografi retrograde endoskopik memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
Intervensi Keperawatan. Pemeriksaan ERCP memerlukan kerjasama pasien untuk memungkinkan insersi endoskop tanpa merusak struktur traktus gastrointestinal yang mencakup percabangan bilier. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien dijelaskan tentang prosedur pemeriksaan dan peranan pasien dalam pemeriksaan tersebut. Preparat sedative diberikan sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan. Selama pemeriksaan ERCP dilakukan, perawat harus memantau cairan infuse yang diberikan, memberikan obat-obatan dan mengatur posisi pasien.
Setelah pemeriksaan selesai dikerjakan, perawat harus memantau kondisi pasien, mengobservasi tanda-tanda vital dan memantau tanda-tanda perforasi atau infeksi. Perawat juga perlu melakukan pemantauan terhadap efek samping setiap obat yang diberikan selama prosedur pemeriksaan dan terhadap pemulihan reflex muntah (gag reflex) sesudah penggunaan anestesi lokal.
·         Kolangiografi Transhepatik Perkutan.
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu terlalu besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
Prosedur pemeriksaan ini dapat dilaksanakan bahkan pada keadaan terdapatnya disfungsi hati dan ikterus. ERCP berguna untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler) dengan ikterus yang disebabkan oleh obstruksi bilier; untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat; untuk menentukan lokasi batu dalam saluran empedu; dan untuk menegakkan diagnosis penyakit kanker yang mengenai system bilier.
Prosedur. Pasien yang sudah berpuasa dan sudah dalam keadaan sedasi yang baik dibaringkan telentang pada meja sinar-X. tempat penyuntikan, yang biasanya pada midklavikularis tepat dibawah tepi kosta kanan, didisinfeksi dan dianestesi dengan lidokain (Xylocain). Sebuah insisi yang kesil dibuat pada titik ini dan jarum fleksibel yang tipis dengan stilet ditusukkan ke posterior dengan sudut 45 derajat dan sejajar garis tengah. Ketika jarum tersebut sudah mencapai kedalaman kurang-lebih 10 cm (4 inchi), stilet dicabut dan digantikan oleh selang konektor plastic yang terpasang spuit 50 ml. Sementara jarum ditarik perlahan-lahan, pengisapan dilakukan dengan hati-hati sampai getah empedu tampak dalam tabung spuit. Setelah sebanyak mungkin getah empedu dihisap kelar, bahan kontras radiopaque disuntikkan dan kemudian dibuat foto sinar-X.
Sebelum jarum dilepas, bahan kontras dan getah empedu diaspirasi sebanyak mungkin untuk mengantisipasi kebocoran lewat lintasan jarum yang dapat memasuki rongga peritoneal. Dengan demikian, aspirasi ini dilakukan untuk memperkecil resiko peritonitis bilier.
Intervensi Keperawatan. Meskipun angka komplikasi setelah prosedur pemeriksaan ini cukup rendah, pasien harus diobservasi dengan ketat akan adanya gejala pendarahan, peritonitis dan septikemia. Rasa nyeri dan tanda-tanda yang menunjukkan komplikasi ini harus segera dilaporkan. Antibiotik harus diberikan seperti yang diresepkan untuk memperkecil resiko sepsis dan syok septik.

F.      PENATALAKSANAAN KOLELITIASIS/KOLEDOKOLITIASIS
Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk.
Manajemen terapi :
* Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
* Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut
* Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
* Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok
* Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
Pengangkatan Batu Empedu Tanpa Pembedahan
* Pelarutan batu empedu
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.   
* Pengangkatan non bedah
Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang belum terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter oddi sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring atau balon kecil pada ujungnya dapat dimasukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
* ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa fragmen.

Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi psien mengharuskannya.
Tindakan operatif meliputi :
* Sfingerotomy endosokopik
* PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
* Pemasangan “T Tube ” saluran empedu koledoskop
* Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube
Penatalaksanaan pra operatif :
1. Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu
2. Foto thoraks
3. Ektrokardiogram
4. Pemeriksaan faal hati
5. Vitamin K (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)
6. Terapi komponen darah
7. Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa scara intravena bersama suplemen hidrolisat protein mungkin diperlikan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati

G.    KOMPLIKASI BATU EMPEDU
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
a.      Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan kolessistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat disertai kuman kuman pembentuk pus.
b.      Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sitikus.
c.       Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan berbercak atau total.
d.      Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar 30%.
e.       Pembentukan fistula
f.       Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus.
g.      Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.

H.    FAKTOR RESIKO
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
  1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
  2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
  3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
  4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
  5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
  6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
  7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

K.    KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
v  Pengkajian
1.      Aktivitas/Istirahat
Gejala : kelemahan.
Tanda : geilsah.
2.      Sirkulasi
Gejala/Tanda : takikardia, berkeringat.
3.      Eliminasi
Gejala : perubahan warna urine & feses.
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine gelap, pekat, feses warna tanah liat, steatorea.
4.      Makanan/Cairan
Gejala : anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak & makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dyspepsia.
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan.
5.      Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai tiba-tiba & biasanya memuncak dalam 30 menit.
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, tanda Murphy positif.
6.      Pernapasan
Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, penapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal.
7.      Keamanan
Tanda : demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat & gatal (pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan vit. K).
8.      Penyuluhan dan Pembelajaran
Gejala : kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu, adanya kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah.
9.      Pemeriksaan Diagnostik
·         Darah lengkap : Leukositis sedang (akut).
·         Billirubin & amilase serum : meningkat.
·         Enzim hati serum-AST (SGOT) : ALT (SGPT), LDH : agak meningkat, alkalin fosfat & S-nukleotidase, ditandai pe obstruksi bilier.
·         Kadar protombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorpsi vit. K.
·         Ultrasound : menyatakan kalkuli & distensi empedu/duktus empedu.
·         Kolangiopankreatografi retrograd endoskopik : memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
·         Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi antara penyakit kandung empedu & kanker pangkreas.
·         CT-Scan : dapat menyatakan kista kandung empedu.
·         Scan hati : menunjukkan obstruksi percabangan bilier.
10. Prioritas Keperawatan
1. Menghilangkan nyeri & meningkatkan istirahat.
2. Mempertahankan keseimbangan cairan & elektrolit.
3. Mencegah komplikasi.
4. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis
11. Tujuan Pemulangan
1. Nyeri hilang.
2. Homeostasis meningkat.
3. Komplikasi dicegah/minimal.
4. Proses penyakit, prognosis & program pengobatan dipahami.

v  Diagnosa Keperawatan & Intervensi
1.      Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cedera biologis : obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
Hasil yang diharapkan :
ü  Melaporkan nyeri hilang.
ü  Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi untuk situasi individual.
Intervensi :
ü  Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik).
Rasional : membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
ü  Catat respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang.
Rasional : nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
ü  Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
Rasional : tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah.
ü  Control suhu lingkungan.
Rasional : dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.
ü  Dorong menggunakan tehnik relaksasi, contoh : bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan nafas dalam, berikan aktivitas senggang.
Rasional : meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping.
ü  Sediakan waktu untuk mendengar dan mempertahankan kontak dengan pasien sering.
Rasional : membantu dalam menghilangkan cemas dan memusatkan kembali perhatian yang dapat menghilangkan nyeri.
ü  Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan reflex spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen nyeri.
2.      Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui pengisapan gaster berlebihan : muntah, distensi, dan hipermotilitas gaster.
Hasil yang diharapkan :
ü  Menunjukkan keseimbangan cairan adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil.
ü  Membrane mukosa lembab.
ü  Turgor kulit baik.
ü  Pengisian kapiler baik.
ü  Secara individu mengeluarkan urin cukup dan tak ada muntah.
Intervensi :
ü  Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari masukan, peningkatan berat jenis urin, nadi perifer, dan pengisian kapiler.
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian.
ü  Awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram abdomen, kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, parestesia, hipoaktif, atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.
Rasional : muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan deficit natrium, kalium, dan klorida.
ü  Hindarkan dari lingkungan yang berbau.
Rasional : menurunkan rangsangan pada pusat muntah.
ü  Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut ; berikan minyak.
Rasional : menurunkan kekeringan membrane mukosa, menurunkan risiko perdarahan oral.
ü  Gunakan jarum kecil untuk injeksi dan melakukan tekanan pada bekas suntikan lebih lama dari biasanya.
Rasional : menurunkan trauma, risiko perdarahan/pembentukan hematom.
ü  Kaji perdarahan yang tak biasanya, contoh perdarahan terus-menerus pada sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, ptekie, hematemesis/melena.
Rasional : protombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan risiko perdarahan/hemoragik.
ü  Pertahankan pasien puasa sesuai keperluan.
Rasional : menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
3.      Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Hasil yang diharapkan :
ü  Melaporkan mual/muntah hilang.
ü  Menunjukkan kemajuan mencapai berat badan atau mempertahankan berat badan individu yang tepat.

Intervensi :
ü  Hitung masukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal.
Rasional : mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi, berfokus pada masalah membuat suasana negative dan mempengaruhi masukan.
ü  Timbang sesuai indikasi.
Rasional : mengevaluasi keefektifan rencana diet.
ü  Konsul tentang kesukaan/ketidaksukaan pasien, makanan yang menyebabkan distress, dan jadwal makan yang disukai.
Rasional : melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuka makan.
ü  Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual.
ü  Berikan kebersihan oral sebelum makan.
Rasional : mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.

ü  Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
Rasional : membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan kemungkinan masalah sekunder sehubungan dengan imobilisasi.
ü  Konsul dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi.
Rasional : berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang paling tepat.
4.      Kurang Pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
Hasil yang diharapkan :
ü  Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan, prognosis.
ü  Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
ü  Berikan penjelasan/alasan tes dan persiapannya.
Rasional : informasi menurunkan cemas, dan rangsangan simpatis.
ü  Kaji ulang proses penyakit/prognosis, diskusikan perawatan dan pengobatan, dorong pertanyaan, ekspresikan masalah.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi. Komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan tingkatkan penyembuhan.
ü  Diskusikan program penurunan berat badan bila diindikasikan.
Rasional : kegemukan adalah fakor risiko yang dihubungkan dengan kolesistitis, dan penurunan berat badan menguntungkan dalam manajemen medik terhadap kondisi kronis.
ü  Anjurkan pasien untuk menghindari makanan/minuman tinggi lemak (contoh : susu segar, es krim, mentega, makanan gorengan, kacang polong, bawang, minuman karbonat), atau zat iritan gaster (contoh : makanan pedas, kafein, sitrun).
Rasional : mencegah/membatasi terulangnya serangan kandung empedu.
·         Perencanaan
Perencanaan merupakan aktifitas berorientasi tujuan dan sistemik dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan.
·         Implementasi
Implementasi adalah fase ketika perawat melakukan proses asuhan keperawatan yang sesuai dengan tujuan yang spesifik. Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik .
·         Evaluasi
Perawat dapat melakukan evaluasi terhadap respon klien dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan pada klien untuk mendapatkan kasus sebagai data dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang berkesinambungan.
Evaluasi adalah proses yang terus menerus karena setiap intervensi dikaji efektivitasnya dan intervensi alternative digunakan sesuai kebutuhan. Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Evaluasi adalah fase akhir proses keperawatan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikirnya.
S     : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O    : Respon Objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
A    : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
P     : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien


DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Harisson. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Vol 4. Jakarta : EGC
S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery), Edisi 6. Jakarta : EGC

Tidak ada komentar: